Rabu, 19 Oktober 2011

Liputan Wisatawan Asing

Berikut ini adalah video amatir dari seorang wisatawan asing yang sedang berwisata di Sumatera Selatan:
Selamat menonton!

Bibliografi Sejarah Pedalaman Palembang


Oleh Rimbun Natamarga
Sejarah pedalaman Palembang adalah ranah yang termasuk jarang disentuh oleh para peneliti muda. Sampai saat ini, masih saja karya Jeroen Peeters dan Mestika Zed yang menjadi rujukan komprehensif tentang daerah pedalaman Palembang. Terlepas dari bagaimana masyarakat pembaca di Indonesia menerima, kedua karya mereka telah dibukukan dengan bagus dan menjadi konsumsi masyarakat umum beberapa tahun yang lalu. Karya Jeroen Peteers malah sudah menjadi klasik.

Bambang Purwanto termasuk dari peneliti Indonesia yang pernah mengangkat daerah pedalaman Palembang. Dipertahankan sebagai disertasi di Inggris, ia mengangkat masalah perdagangan karet di pedalaman Palembang pada masa kolonial. Karya ini sampai hari ini hanya dinikmati oleh lingkaran pembaca tertentu.

Tulisan ini pun tidak akan melupakan karya-karya peneliti kawakan dari Palembang. Mereka bertahun-tahun meneliti sejarah dan budaya Palembang. Beberapa hasil penelitian mereka telah dibukukan. Berdampingan dengan karya Jeroen Peeters dan Mestika Zed, karya-karya mereka menjadi rujukan penting bagi para peneliti muda yang hendak mengangkat pedalaman Palembang ke tengah masyarakat umum.

Di antara peneliti kawakan tersebut patut disebut Djohan Hanafiah. Dikenal sebagai budayawan Palembang, ia banyak menelurkan karya-karya tulis sejarah tentang Palembang.

Selainnya, adalah Saudi Barlian. Dikenal sebagai peneliti aktif, ia banyak mencurahkan waktunya untuk menggali sumber-sumber budaya Palembang. Dan di sinilah letak bedanya dengan Djohan Hanafiah. Saudi Barlian lebih sering mengangkat kebudayaan Palembang dalam tulisan-tulisannya ketimbang sejarah Palembang.

Di luar mereka, ada tiga nama penulis asing yang mesti disebut. Karya-karya mereka sudah menjadi klasik dan, sayangnya, mulai dilupakan banyak orang. Padahal, ditimbang dari sudut kepenulisan sejarah, karya mereka bertiga tergolong ke dalam sumber-sumber primer.

Mereka bertiga yang dimaksud adalah M. H. Court, William Marsden, dan Alfred Russel Wallace. Mereka adalah orang-orang yang melihat dan mengalami langsung Sumatera pada masa mereka hidup. Hasil pengalaman itu mereka tuangkan menjadi buku-buku tebal untuk komsumsi masyarakat umum. Kecuali karya M.H. Court, karya-karya mereka juga sudah diterjemahkan oleh penerbit Komunitas Bambu. Para peneliti pemula yang gagap bahasa asing terutama Inggris bisa bernapas lega sekarang.

Pedalaman Palembang
Palembang yang dibicarakan di sini adalah Palembang dalam arti luas dan akrab dikenal sehari-hari. Bukan Palembang hanya sebatas ibukota propinsi Sumatera Selatan. Sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda dulu, wilayah Sumatera Selatan sekarang dikenal sebagai keresidenan Palembang. Pusat pemerintahan berada di kota Palembang.

Sebagai satu keresidenan, daerah ibukota dibedakan dengan daerah luar ibukota. Meneruskan kebiasaan yang telah hidup sejak kesultanan Palembang, daerah di luar ibukota lazim disebut dengan daerah pedalaman. Beranjak beberapa kilometer ke luar batas ibukota, kita telah berada di daerah pedalaman.

Pengertian seperti itu jelas telah berubah. Pada hari ini, menyebut pedalaman Palembang, asosiasi siapa pun hampir pasti tergerak untuk membentuk sebuah lukisan tentang daerah-daerah pelosok Sumatera Selatan yang masih jauh dari kemajuan.

Yang paling penting dari itu semua, di tengah membanjirnya minat masyarakat luas sekarang ini terhadap daerah-daerah di Nusantara, tulisan-tulisan tentang pedalaman Palembang adalah lahan potensial yang menunggu untuk diangkat ke tingkat nasional dan sudah tentu internasional. Lahan ini butuh untuk digarap oleh para peneliti dan penulis.

Melengkapi tulisan ini, di bawah ini, akan disertakan juga beberapa bibliografi penting tentang pedalaman Palembang pada masa kolonial. Sebagian entri berupa sumber-sumber sejarah yang ditulis oleh para pelaku sejarah sendiri. Sebagian lain adalah hasil-hasil penelitian tentang pedalaman Palembang.

Jembatan Kertapati


Jembatan itu dibangun pada tahun 1930-an oleh Belanda dengan dana yang dikutip dari petani karet. Setiap kati karet petani dikenakan setoran wajib satu sen gulden untuk membangun jembatan tersebut.

Jembatan dengan arsitek seperti ini bukan hanya di bagun di Palembang tetapi beberapa tempat di kawasan Sumatera Selatan seperti di Lahat, Sekayu, Baturaja dan beberapa tempat lainnya. awalnya jembatan yang di arsiteki Berkenbosch.ini sempat diberi nama Juliana Burg, tidak banyak catatan mengenai jembatan ini. jembatan di gunakan untung menghubungkan wilayah yang di belah oleh sungai ogan juga pernah menjadi basis pertahanan dari Belanda dalam menghadapi serangan Greliyawan Indonesia pada perang 5 hari 5 malam.

Kapal Roda Lambung / Kapal Marrie


Pada era 1800-an, pola perdagangan di Sumsel adalah moda angkutan air. Terutama pada tahun 1880, perdagangan di daerah ini –baik dari wilayah pedalaman maupun dari Kota Palembang sebagai sentral—dilayani oleh kapal uap, yang lazim disebut Hekwieler atau "kapal roda lambung" atau kapal "Marrie".

Kapal-kapal ini melayari Sungai Musi, Sungai Komering, Sungai Ogan, dan Sungai Lematang membawa barang konsumsi impor. Selanjutnya, di daerah tujuan, barang impor –umumnya berasal dari Sungapura-itu dijual. Dari “pasar” pedalaman ini, pemborong besar pedalaman membeli hasil bumi, terutama karet dan kopi.

Selain untuk sarana pengangkutan kapal ini juga berfungsi bebagai sarana troasportasi penduduk untuk bepergian, dulu dermaga kapal roda lambung ini adalah di kawasan seebelah hulu (Deramga di sebelah hulu yang berada di bawah jembatan Ampera).

Saat mulai terbukanya akses menggunakan kereta api pada tahun 1927 maka dimulailah persaingan antara kapal roda lambung dan kereta api.. Seperti halnya angkutan kapal roda lambung, karet yang dibawa kereta api berhenti di Stasiun Kertapati. Lalu, getah karet itu dibawa dengan kapal kecil untuk “curah” di gudang rakit sepanjang Kertapati-Sekanak.

Memasuki masa 1930-an, angkutan kereta api mulai mendominasi. Akibatnya, para pedagang Palembang pemilik kapal roda lambung mulai mengurangi frekuensi pelayarannya. Kondisi ini diperparah pula oleh krisis ekonomi atau malaise pada era 1930-an, setelah sempat terjadi rubber booming pertengahan 1920-an.

Kapal roda lambung yang biasa melayari Lematang, Ogan, dan Komering mulai berkurang, bahkan nyaris lenyap pada tahun 1937. Bahkan, para penduduk desa, yang biasanya naik ke kapal untuk membeli barang-barang impor, juga berkurang.

Kapal-kapal itu masih dapat bertahan hidup hanya di wilayah Musirawas, yang kala itu belum ada rel kereta api milik ZSS (Zuid Sumatra Staatss-poorwegen).

Sejarah Pempek Palembang

Saran Penyajian Pempek
Pempek atau Empek-empek adalah makanan khas Palembang yang terbuat dari ikan dan sagu. Sebenarnya sulit untuk mengatakan bahwa pempek adalah pusatnya adalah Palembang karena hampir di semua daerah di Sumatera Selatan memproduksinya.

Penyajian pempek palembang ditemani oleh saus berwarna hitam kecoklat-coklatan yang disebut cuka atau cuko (bahasa Palembang). Cuko dibuat dari air yang dididihkan, kemudian ditambah gula merah, cabe rawit tumbuk, bawang putih, dan garam. Cuko adalah teman makan pempek yang setia, dibuat pedas untuk menambah nafsu makan. Ada juga cuko manis bagi yang tidak menyukai pedas.

Jenis pempek palembangyang terkenal adalah “pempek kapal selam” adalah telur ayam yang dibungkus dengan adonan pempek dan digoreng dalam minyak panas. Ada juga yang lain seperti pempek lenjer, pempek bulat (atau terkenal dengan nama “ada’an”), pempek kulit ikan, pempek pistel (isinya irisan pepaya muda rebus yang sudah dibumbui), pempek te lur kecil, dan pempek keriting.

Pempek bisa ditemukan dengan gampang di seantero Kota Palembang. Ada yang menjual di restoran, ada yang di gerobak, dan juga ada yang dipikul. Juga setiap kantin sekolah pasti ada yang menjual pempek.� Tahun 1980-an, penjual pempek bisa memikul 1 keranjang pempek penuh sambil berkeliling Kota Palembang jalan kaki menjajakan makanannya!. Pempek sekarang ada dua jenis yaitu Parempek campuran antara Pare dan Pempek.

Menurut sejarahnya, pempek palembang telah ada di Palembang sejak masuknya perantau Cina ke Palembang, yaitu di sekitar abad ke-16, saat Sultan Mahmud Badaruddin II berkuasa di kesultanan Palembang-Darussalam. Nama empek-empek atau pempek diyakini berasal dari sebutan “apek”, yaitu sebutan untuk lelaki tua keturunan Cina.

Berdasar cerita rakyat, sekitar tahun 1617 seorang apek berusia 65 tahun yang tinggal di daerah Perakitan (tepian Sungai Musi) merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di Sungai Musi. Hasil tangkapan itu belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik, hanya sebatas digoreng dan dipindang. Si apek kemudian mencoba alternatif pengolahan lain. Ia mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka, sehingga dihasilkan makanan baru. Makanan baru tersebut dijajakan oleh para apek dengan bersepeda keliling kota. Oleh karena penjualnya dipanggil dengan sebutan “pek � apek”, maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai empek-empek atau pempek.[1]

Namun cerita rakyat ini patut ditelaah lebih lanjut karena singkong baru diperkenalkan bangsa Portugis ke Indonesia pada abad 16. Selain itu velocipede (sepeda) baru dikenal di Perancis dan Jerman pada abad 18. Walaupun begitu sangat mungkin pempek palembang merupakan adaptasi dari makanan Cina seperti baso ikan, kekian ataupun ngohyang.

Pada awalnya pempek palembang dibuat dari ikan belida. Namun, dengan semakin langka dan mahalnya harga ikan belida, ikan tersebut diganti dengan ikan gabus yang harganya lebih murah, tetapi dengan rasa yang tetap gurih.

Pada perkembangan selanjutnya, digunakan juga jenis ikan sungai lainnya, misalnya ikan putak, toman, dan bujuk. Dipakai juga jenis ikan laut seperti Tenggiri, Kakap Merah, parang-parang, ekor kuning, dan ikan sebelah.

sumber: wikipedia

Sejarah Jembatan Ampera



Pembangunan jembatan gerak ini dimulai pada bulan april 1962, setelah mendapat persetujuan dari presiden soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana rampasan perang jepang dalam kata lain semua di tanggung oleh pemerintah jepang dari kontraktor dan pekerja. Pada awalnya, jembatan sepanjang 1.177 meter dengan lebar 22 meter ini, dinamai jembatan bung karno. \

Menurut sejarawan djohan hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada presiden ri pertama itu. Bung karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas sungai musi.
Pembangunan Jembatan Ampera Tahun 1962

Jembatan Ampera Tempo Dulu
Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi sungai musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah jembatan ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai. Sejak tahun 1970, jembatan ampera sudah tidak lagi dinaikturunkan. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini, yaitu sekitar 30 menit, dianggap mengganggu arus lalu lintas antara seberang ulu dan seberang ilir, dua daerah kota palembang yang dipisahkan oleh sungai musi.
Suasana Malam di Jembatan Ampera
Indahnya suasana malam

Jembatan ampera pernah direnovasi pada tahun 1981, dengan menghabiskan dana sekitar rp 850 juta. Renovasi dilakukan setelah muncul kekhawatiran akan ancaman kerusakan jembatan ampera bisa membuatnya ambruk. Bersamaan dengan eforia reformasi tahun 1997, beberapa onderdil jembatan ini diketahui dipreteli pencuri. Pencurian dilakukan dengan memanjat menara jembatan, dan memotong beberapa onderdil jembatan yang sudah tidak berfungsi. Warna jembatan pun sudah mengalami 3 kali perubahan dari awal berdiri berwarna abu-abu terus tahun 1992 di ganti kuning dan terakhir di tahun 2002 menjadi merah sampai sekarang.

Sumber: data hardisk

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons